“Biru,” suaraku mengecek
kehadiran murid hari itu.
“Tidak hadir,Bu,”
jawab Rifka Si Ketua Kelas.
Aku menghela napas.
Kesal.
Biru tak pernah hadir
saat jam pelajaran Bahasa Inggris. Apa aku begitu menakutkan sehingga ia tak
berani mengikuti kelasku? Batinku.
Biru adalah
satu-satunya murid yang belum pernah kulihat wajahnya. Padahal sudah sebulan
kegiatan tatap muka terbatas dilakukan sekolah. Anehnya, Biru aktif hadir pada
jadwal mata pelajaran lain.Bu Sri, Sang Wali Kelas pun sudah melakukan
pendekatan. Hasilnya? Biru hanya diam membisu.
Ini tidak bisa
dibiarkan.
Aku harus menemui
Biru. Menanyakan ada apa dengannya. Harus!!
Dua hari lagi
jadwal sesi di mana Biru akan hadir ke sekolah. Aku berencana memanggil dan
mengajaknya bicara. Berdua saja. Jika kali ini tidak membuahkan perubahan
positif, terpaksa kuminta Bu Sri memanggil orangtuanya.
Pagi itu, gerimis
membasahi halaman sekolah. Jilbab merah hati yang kupakai pun sedikit lembab.
Kukibas bulir-bulir air yang menempel. Suasana lengang begitu terasa karena seluruh siswa
sedang melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas.
Kulirik jam tangan
menunjukkan pukul 9.30. Berarti sudah masuk jam pelajaran ke lima.
Kulangkahkan kaki
menuju kelas 7 F yang pagi itu sedang belajar IPA bersama Bu Sri.
“Tok! Tok!”
“Oh, Bu Fitria.
Ada apa,Bu?” suara lembut Bu Sri menyapaku yang berdiri di depan pintu kelas.
“Bisakah saya
bertemu dengan Biru Angkasa?”
“Bisa,Bu. Biru,
ikut Bu Fitria sebentar,ya,” pinta Bu Sri padanya.
Seorang anak
lelaki dengan tubuh kecil itu berjalan sambil menunduk ke arahku.
“Oh,ini yang namanya
Biru? Ikut Ibu ke ruangan sebentar ya,Nak,’ pintaku.
Setelah mengucapkan
terima kasih kepada Bu Sri aku berjalan menuju ruang guru. Biru berjalan
mengekoriku. Tanpa suara.
“Biru, duduk dulu.”
Ia masih membisu.
Menggeserkan bangku yang sengaja kuletakkan berhadapan.
Aku mengajaknya
berbincang. Menanyakan kabarnya. Kabar orangtuanya dan apa saja yang ia lakukan
Ketika di rumah. Hingga pertanyaan itu kuucapkan, “Biru, kok nggak pernah masuk
saat pelajaran Bahasa Inggris?”
Ia menatapku
sejenak.
“Saya…saya…tidak
punya buku paket Bahasa Inggris,Bu. Saya tidak bisa Bahasa Inggris.Saya...saya... takut dimarahi Ibu,” jawabnya terbata.
“Oh, begitu. Padahal
Ibu nggak galak loh,” timpalku. “Ya sudah,
Biru kan sudah banyak ketinggalan materi nih. Nah, Ibu mau bantu Biru mengejar
ketertinggalan. Mau nggak?”
Ia mengangguk
cepat. Kulihat binar di mata beningnya kali ini.
Akupun menyalakan
laptop dan berselancar dengan browser. Kuketik belajar.kemdikbud.go.id pada laman
pencarian. Tak perlu menunggu lama, muncullah tampilan Rumah Belajar, portal
pembelajaran yang selama ini banyak kugunakan saat mengajar terutama saat pembelajaran
daring beberapa waktu lalu.
“Biru, ini namanya
Rumah Belajar. Ada banyak fitur yang bisa digunakan untuk membantu kamu belajar,”
akupun dengan lancar membimbingnya mencari materi pada Sumber Belajar dan melakukan latihan soal pada Bank Soal.
Ia terlihat sangat
bersemangat. Tanpa terasa waktu bergulir dan jam dinding sudah menunjukkan
pukul 11. Bel sekolah tanda berakhirnya pelajaran juga sudah dibunyikan.Aku
berpesan agar nanti ia menemuiku lagi.
Biru berjanji akan kembali mendatangiku esok hari untuk belajar bersama Rumah Belajar. Siang itu ia
melangkah dengan bersemangat saat keluar dari ruang guru dengan sepasang sepatu hitamnya yang kusam.
Ada bulir bening yang
mengalir di pipiku kali ini.
Biru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar